Oleh : Agus, M.Si

 

 

 

 

 

, 09 November 2015 - 00:00:00 WIB
EKSISTENSIALITAS KPU : SEBUAH KEBUTUHAN PILKADA
Oleh : Agus, M.Si

Diposting oleh Admin KPU :
Kategori: Berita KPU Provinsi NTB - Dibaca: 2216 kali

Tanggal 9 Desember 2015 merupakan hari bersejarah dalam perjalanan demokrasi lokal di Indonesia. Letak nilai historisnya karena hari itu merupakan peristiwa pertama pelaksanaan PILKADA serentak. Dalam usaha mempersembahkan sebuah oernamen demokrasi, tentu seluruh pemangku kepentingan terus melakukan pelbagai persiapan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara festival itu sudah dapat dipastikan merupakan aktor yang saat-saat seperti ini paling sibuk menuju hari “H”, karena tanggal itu merupakan hari yang menentukan bagi pertarungan para bintang untuk mendapatkan simpati dan kepercayaan masyarakat. Pada sisi yang lain, tentu saja seluruh masyarakat Indonesia berharap Pilkada berjalan damai, lancar, dan menghasilkan pemimpin politik paling layak untuk memimpin pemerintahan daerah di negeri ini.

Meskipun demikian, sebagai atraksi pertarungan kekuasaan, proses Pilkada selalu dilalui dengan berbagai tantangan. Kecemasan, ketegangan, kehawatiran, dan akhirnya perilaku saling mencurigai antara aktor yang satu dengan lainnya, merupakan peristiwa paling sulit dinihilkan dalam seluruh rangkaian proses pelaksanaan tahapan. Dari seluruh aktor yang terlibat dalam permainan peran di pentas pemilu itu, KPU merupakan aktor yang paling banyak mendapat perhatian publik. Entah karena sejarah kelam pengalaman penyelenggaraan pemilu pada zaman dahulu kala (lihat sejarah pemilu zaman Orde Baru) yang penuh kecurangan, atau karena kehawatiran berlebihan dari para petarung politik dan penontonnya. Terlepas dari mana yang benar, tetapi efek dari semua asumsi sosial tersebut, masyarakat sebagai subyek Pilkada langsung akan terus memberi perhatian pada KPU.

Apabila kecuriagaan masyarakat dibiarkan terus bergulir tanpa pemberian pemahaman yang utuh, layak untuk dikhawatirkan bahwa situasi sosial semacam ini dapat mengganggu eksistensialitas lembaga quasi negara yang bernama KPU ini. Tentu eksistensialitas lembaga ini tidak boleh diperlemah karena faktanya negeri ini masih membutuhkan penyelenggara pemilu yang indevenden dan kuat untuk mempercepat pembangunan demokrasi bangsa. Dan komitmen kebangsaan ini tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pasal 22E. Tulisan ini bermaksud untuk meletakkan eksistensi KPU sebagai penyelenggara PILKADA 2015 yang demokratis dan berintegritas. Tentu saja harapannya agar masyarakat memberi kepercayaan kepada KPU baik personal maupun instutusinya. Memahami Makna Eksistensialitas

Konsep eksistensialitas dimotori oleh Jean Paul Sartre seorang filsuf terkemuka berkebangsaan Prancis, lahir tahun 1905. Dalam karyanya yang diberi judul Existentialism and Humanism (1946) Sartre menjelaskan makna eksistensilitas dengan pernyataan “….pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya Ia tidak akan menjadi `apa-apa` sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’. Manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri, maka itulah prinsip dari eksistensialitas”.

Pelajaran yang ingin penulis katakan dari pernyataan Sartre di atas adalah manusia berserta institusinya, tidak akan memiliki makna apa-apa jika tidak melakukan apa-apa. Dalam terminology ini, eksistensi manusia beserta institusinya ditentukan oleh seberapa besar dia melakukan “apa” secara konsisten. Ketika seseorang melakukan pencurian, maka masyarakat akan memberikan konsep makna kepada orang tersebut sebagai pencuri. Demikian sebaliknya ketika setiap hari orang itu datang ke tempat ibadah, suka beramal baik, maka masyarakat akan memberi makna kepada orang bersangkutan sebagai orang taat beribadah.

Dari metode berpikir di atas, terlihat bahwa eksistensi manusia beserta institusinya, tidak hadir secara tiba-tiba. Eksistensi lahir melalui konstruksi dari apa yang dilakukan oleh si aktor dalam kehidupan sosialnya. Sebagaimana konklusi penting dari Sartre yang menyebutkan ‘segala sesuatu barulah dapat dimaknai ketika segala sesuatu tersebut ada (eksis) terlebih dahulu’. Jika demikian halnya, seiring modernisasi kehidupan sosial, eksistensi individu beserta institusinya bisa didapat dari proses rekayasa sosial yang dilakukan atau karena peran yang ddiberikan oleh perundang-undangan negara. Jika eksistensi karena dorongan rekayasa sosial, maka si aktor biasanya berperilaku aktif. Peran media sebagai penyebar informasi aktivitas si aktor menjadi penting, karena hipnotis dari media sangat mudah memberikan kesan tentang si aktor. Metode rekayasa sosial terhadap eksistensialitas individu atau institusi biasanya terjadi pada figur-figur yang menginginkan popularitas. Karena ini eksistensialitas semacam ini mudah tumbuh tetapi mudah mati. Dalam jangka pendek eksistensialitas melalui rekayasa sosial cukup diminati, khususnya di dunia hiburan dan dunia politik.

Berbeda dengan eksistensialitas melalui pemberian peran oleh perundang-undangan. Pada konteks ini biasanya si aktor lebih bersifat pasif, berperilaku normatif, dan cenderung statis. Eksistensiliatas semacam ini tidak muncul berdasarkan frekuensi publikasi aktivitas, tetapi pada kepatuhan terhadap norma dan konsistensi perilaku. Si aktor akan mendapatkan eksistensilitas ketika ia mampu memainkan peran secara maksimal sesuai lakon yang diberikan oleh perundang-undangan. Ketika ia keluar dari lakon yang seharusnya ia mainkan, maka ia akan mendapatkan hujatan dari masyarakat dan eksistensinya menjadi hilang.

Bagaimana KPU Membangun Eksistansialitasnya

Pemilu Indonesia telah melalui sejarah panjang sejak tahun 1955 hingga sekarang. Problem pelaksanaan pemilu dari zaman ke zaman hampir sama, berkisar pada persoalan netralitas penyelenggara pemilu, kebebasan hak memilih dan dipilih, sifat kenegarawanan para kandidat, dan pada sistem yang kurang demokratis.Problem-problem teknis lainnya bukan tidak penting tetapi jika ditelisik, maka tiga aspek ini merupakan elemen kunci atau utama dari sebuah pemilu. Karena itulah maka jika tiga elemen ini tidak sehat, akan sangat berpengaruh pada elemen-elemen yang bersifat teknis.

Ketika pemilu diselenggarakan oleh pemerintah, sementara pemerintah yang sedang berkuasa adalah juga partai politik sebagai peserta pemilu, maka seluruh proses dan hasil pemilu memiliki akuntabilitas publik yang rendah. Tidak mudah meminta masyarakat percaya pada pemilu ketika seluruh struktur politik dikuasai oleh partai politik pemenang pemilu. Demikian halnya ketika pemilu diselenggarakan oleh perwakilan gabungan partai politik peserta pemilu. Dalam kondisi kurangnya akses pengawasan publik, akurasi hasil pemilu sulit dipertanggungjawabkan. Dan lagi-lagi kepercayaan masyarakat terhadap pemilu menjadi rendah, sementara kepercayaan masyarakat merupakan persyaratan penting pemilu demokratis.

Untuk keluar dari patologi di atas, Indonesia melakukan amademen terhdap UUD 1945. Khusus dalam penyelenggaraan pemilu, dipercayakan kepada suatu lembaga indivenden yang disebut komisi pemilihan umum (KPU). Ada tiga sifat KPU yang disebutkan dalam pasal 22E, yakni nasional, tetap, dan mandiri. Selanjutnya kelembagaan KPU diatur oleh undang-undang penyelenggara pemilu, yang saat ini adalah undang-undang nomor 15 tahun 2011. Semangat dari perundang-undanag di atas adalah menjamin pelaksanaan pemilu secara indevenden, tidak berpihak, jujur, dan adil, sehingga mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Harapan masyarakat terhadap netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu cukup tinggi. Salah satu ukurannya adalah masyarakat sangat percaya terhadap lembaga ini. Di antara survei yang dapat menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap KPU adalah survei yang pernah dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bekerja sama dengan lembaga survei asal Washington DC,IFES yang dirilis 11 Februari 2014. Dengan menggunakan 1.890 responden, hasil survei ini memperlihatkan 71 % masyarakat percaya pada lembaga KPU, dan begitu ditanya apakah mereka percaya dengan netralitas KPU, 75 % menjawab percaya.

Meskipun baru dihitung secara kuantitatif, setidaknya data di atas memperlihatkan bahwa masyarakat masih menaruh harapan pada KPU dan ini menunjukkan eksistensialitas KPU masih diperlukan. Pertanyaannya bagaimana KPU dapat mempertahankan eksistensialitasnya? Jika mengikuti pemikiran Sartre, maka eksistensi KPU dibentuk oleh apa yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di KPU itu sendiri. Sikap, tindakan, dan perilaku yang netral, tidak berpihak dan profesional merupakan modal yang dimiliki lembaga ini untuk mendapatkan keprcayaan masyarakat, dan itulah lakon yang diberikan oleh perundang-undangan. Maka menurut hemat penulis, untuk menjaga eksistensialitasnya sebagai penyelenggara Pilkada, seluruh personil KPU harus memainkan lakon yang diberikan perundang-undangan secara maksimal.

  • RAKOR ADVOKASI DAN PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA
    Lalu Aksar: jangan "gagal faham" dalam rekonstruksi alat bukti

  • ansori-wijaya-kpu-ntb-optimis-realisasi-keuangan.html>RAKOR REVISI DANA HIBAH KE DIPA APBN TAHUN 2015
    Ansori Wijaya: KPU NTB Optimis Realisasi Keuangan 95 persen

  • lalu-aksar-komitmen-kpu-wujudkan-pemilu-bermartabat.html>KUNKER KOMNAS HAM DI KPU NTB
    Lalu Aksar: "Komitmen KPU Wujudkan Pemilu Bermartabat"

  • lalu-aksar-netralitas-harga-mati.html>BUPATI KUMPULKAN PENYELENGGARA PILKADA KLU
    Lalu aksar: "Netralitas Harga Mati"
  • WUJUDKAN TRANSPARANSI PAW, KPU NTB LAKUKAN BIMTEK APLIKASI PAW
0 Komentar :


Isi Komentar :
Nama :
Website :
Komentar
 
  (Masukkan 6 kode diatas)